Saya termasuk salah satu orang yang punya keinginan agar budaya literasi bisa tumbuh di Indonesia, khususnya di tanah kelahiran saya di Pati, Jawa Tengah.
Meski belum seberapa, saya mencoba ikut berpartisipasi dalam upaya menumbuhkan budaya literasi tersebut, meski hasilnya juga belum maksimal. Taman baca yang masih sangat kecil yang saya dirikan di kampung, menjadi sebuah media untuk mewujudkan keinginan dalam menumbuhkan budaya tersebut. Taman baca ini saya beri nama Kampoeng Pasinanon.
Setelah beberapa bulan berjalan, memang tak mudah untuk mengajak masyarakat yang memiliki berbagai karakter untuk bisa langsung mencintai budaya membaca dan menulis. Butuh sebuah terobosan, yang hal itu masih menjadi sebuah PR besar bagi saya. Banyak faktor yang ternyata membuat taman baca saya tidak berjalan maksimal.
Terkait literasi, dalam sebuah kesempatan, saya diberikan wadah untuk bisa menulis mengenai hal itu. Tulisan yang sifatnya opini itu saya beri judul "Menanti Gebrakan Pemda dalam Membangun Budaya Literasi". Tulian ini pertama kali muncul di MuriNewsCom. Dalam tulisan ini, saya juga lebih menyoroti mengenai upaya Pemkab Rembang dalam menumbuhkan budaya literasi.
Akhir-akhir ini,
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rembang cukup santer menggaungkan budaya
literasi. Berbagai wacana dan program terkait upaya menumbuhkan budaya literasi
di Kota Garam tersebut coba dimunculkan. Di antaranya Gerakan Literasi Sekolah
dan Program Menciptakan Insan Cakap dan Ramah Literasi (Microlite).
Bahkan, untuk memperjelas idenditas sebagai daerah yang
peduli terhadap budaya literasi, Rembang menasbihkan diri atau ditasbihkan sebagai
kota literasi.
Namun demikian, dalam praktiknya,
program-progam yang diciptakan tersebut hingga kini hasilnya belum berjalan
secara optimal. Jika berkunjung ke Kabupaten Rembang, cobalah sempatkan untuk
mampir ke Perpustakaan Umum Daerah. Suasana yang cukup lengang bisa ditemui di
sana.Bukan soal etika ketika di sebuah perpustakaan untuk tidak menciptakan
suasana riuh, tetapi jumlah pengunjung bisa dikatakan masih minim. Dari data
yang ada, jumlah pengunjung Perpusda hanya berkisar 50 orang per harinya. Jumlah tersebut, tentunya
sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah populasi penduduk di Rembang,
khususnya mereka yang tercatat sebagai pelajar dan mahasiswa. Sebab,
program-program literasi yang diusung pemerintah, sasarannya sebagian besar
adalah untuk generasi muda.
Pun, jika hal tersebut dinilai
bukan sebuah tolok ukur dari realisasi program peningkatan literasi, cobalah
berjalan keliling di sudut-sudut kota atau perkampungan yang ada di Rembang. Amatilah, pada waktu-waktu senggang, atau pada
jam-jam waktu mengaji yakni usai Magrib. Anda akan lebih banyak menemukan
rumah-rumah yang televisinya tetap menyala, dibandingkan melihat orang membaca
Alquran, buku,Alkitab ataupun lainnya.
Warga masih terkesan cuek dan tak
peduli dengan upaya peningkatan budaya literasi yang dilakukan pemerintah. Atau
barangkali, memang program tersebut tak menyentuh secara optimal di lapisan
masyarakat atau bahkan masyarakat belum tahu sama sekali dan tak paham mengenai
budaya literasi.
Istilah literasi sendiri erat
hubungannya dengan membaca, melek aksara
dan tulis menulis. Jika diartikan secara kekinian, literasi juga bisa
diartikan melek teknologi, melek politik, cerdas dalam bersikap dan peka
terhadap lingkungan. Secara sederhana, juga bisa dimaknai yaitu bagaimana
seseorang memiliki kemampuan untuk bersikap kritis, jeli membaca kondisi yang
ada dan mampu mengaktualisasikan problematika ke dalam tulisan maupun karya.
Dalam konteks ini, sebagai daerah
dengan jumlah penduduk yang lebih dari 600 ribu jiwa, dengan jumlah lembaga
pendidikan formal dan non formal yang
cukup banyak, apakah kesadaran budaya literasi memang belum baik untuk di
Rembang? Bisa dipastikan belum. Meskipun, pemda melalui Perpusda mengklaim jika
dari 287 desa yang ada di Rembang, 60 persennya sudah memiliki perpustakaan. Namun,
keberadaan perpustakaan tak bisa untuk menggambarkan adanya peningkatan minat
baca dan tulis, jika dalam pengelolaannya juga kurang maksimal.
Jika merujuk pada sebuah data
global yang dilansir oleh Central
Connecticut State University di New Britain, AS, menempatkan lima negara pada
posisi terbaik untuk tingkat literasi, yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia,
Denmark, dan Swedia.Sedangkan untuk Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara, hanya
setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara di Afrika. Lalu, untuk
Kabupaten Rembang, ada juga data yang menunjukkan jika dari 600 ribu penduduk
di Rembang, 17 ribu di antaranya masih buta aksara. Data ini disampaikan Direktur
Pendidikan, Keaksaraan dan Kesetaraan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Erman Syamsudin.
Data di atas menunjukkan jika
masih lemahnya budaya literasi dalam masyarakat Indonesia.Begitupun dengan di
Rembang. Diakui atau tidak, saat ini kita masih mengandalkan apa yang dilihat
(visual) dan didengar (audio) dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Kita
belum bisa melakukan sesuatu dari pemahaman membaca.
Lalu, apakah dalam hal ini
pemerintah daerah layak dipersalahkan? Sebenarnya tak perlu mencari siapa yang
salah dan siapa yang benar, karena ini tanggung jawab bersama. Karena, budaya sadar literasi bukan sesuatu
hal yang bisa terealisasi secara tiba-tiba. Beberapa program pemda terkait
literasi sebenarnya merupakan langkah untuk memulai.
Ihtiar pemda melahirkan program
atau kebijakan tersebut, tentunya adalah niat baik. Namun demikian, kebijakan yang
hanya sebagai formalitas dan program kerja saja, tentu tidak akan maksimal.
Pemda seharusnya juga mengawal sekaligus mengevaluasi. Sehingga program dapat
berjalan dengan maksimal dan sesuai dengan kondisi di lapangan.
Butuh kerja keras, konsistensi,
kerja sama dan gebrakan dari pemda untuk menciptakan kecintaan terhadap budaya
literasi. Gerakan Literasi Bangsa (GLB) yang diluncurkan pada 2015 lalu oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang ketika itu masih
dijabat Anies Baswedan, dengan tujuan menumbuhkan budi pekerti remaja melalui
budaya literasi, hendaknya diimplementasikan hingga ke daerah dengan baik.
Pemda, dalam hal ini Dinas Pendidikan atau instansi lain yang berkaitan, harus
konsisten mengawal program tersebut, meski kini menteri sudah berganti.
Untuk sekolah, program membaca 15
menit sebelum dimulai kegiatan belajar mengajar juga hendaknya tetap
diberlakukan. Buku yang dibaca siswa bukan buku mata pelajaran, tapi bebas.
Apakah itu tentang sastra Indonesia atau luar negeri, dan bisa juga bacaan lain
yang pantas untuk dibaca. Hal ini, sebaiknya juga berlaku terhadap guru. “Pemaksaan”
seperti ini, secara perlahan bisa berimbas terhadap kemauan dan kecintaan terhadap
membaca ataupun menulis.
Hal lain yang bisa diterapkan di
sekolah adalah menugaskan siswa untuk mereview kembali sebuah buku, dengan
bahasa bercerita masing-masing siswa. Cara ini bisa dilakukan setiap satu pekan
sekali, dua pekan atau satu bulan sekali. Artinya, setiap siswa harus
menyelesaikan review satu judul buku sesuai dengan kesepakatan waktu yang telah
ditentukan. Usai mereview, siswa juga harus mempresentasikan hal itu di hadapan
teman-temannya. Sehingga, apa yang dibaca dan ditulis benar-benar dipahami
siswa. Perlu dipertimbangkan pula, program ini dimasukkan dalam penilaian.
Efek positif dari program ini
adalah, bagaimana siswa dituntun untuk membiasakan diri membaca dan menulis.
Kemudian, mengasah kemampuan daya ingat siswa, melatih kemampuan untuk cepat
memahami inti dari pokok persoalan dan melatih kreativitas berpikir siswa.
Kemudian, penting juga bagi
pemerintah daerah untuk menyediakan fasilitas, agar memudahkan masyarakat dalam
mengakses bacaan. Misalnya saja, di bank, puskesmas, satlantas, rumah sakit,
kantor pelayanan, dan lain sebagainya, harus menyediakan buku bacaan. Sehingga,
warga yang sedang mengantre menunggu
pelayanan dapat memanfaatkan waktu dengan membaca.
Selanjutnya, perlu sebuah payung
hukum untuk “memaksa” PNS atau honorer agar mau membaca. Payung hukum tersebut
bisa berupa peraturan bupati (perbub) atau perda. Dalam aturan tersebut, setiap
pegawai di lingkup pemerintahan diwajibkan untuk membaca buku yang setiap satu
judul buku diselesaikan dengan kurun
waktu yang disesuaikan. Apakah itu tiga hari sekali, satu pekan, dua pekan atau
lainnya. Elok juhs, jika setiap kantor menyediakan ruang perpustakaan mini,
yang nantinya setiap pegawai wajib membaca sekitar 15 menit, sebelum waktu
kerja dimulai.
Kenapa harus pegawai pemerintahan?
Sebab, mereka merupakan bagian dari perencana atau penentu kebijakan, yang
tentunya dituntut untuk memiliki wawasan yang luas. Dengan terbiasa membaca
buku, nantinya teori atau pengetahuan yang ada di dalam buku, bisa menjadi
referensi dalam membuat kebijakan. Pun demikian, pejabat pemerintahan merupakan
figur yang harus bisa menjadi contoh yang positif bagi masyarakat. Dengan mau
menjadi pelopor dalam upaya meningkatkan budaya literasi, tentunya akan memacu
masyarakat untuk berbuat hal yang positif pula.
Sebagai tanggung jawab bersama,
masyarakat di sini juga harus mengambil peran. Sesuatu yang bisa dilakukan
adalah, orang tua hendaknya memberlakukan jam belajar, yakni bisa dilakukan
pukul 18.00-20.00 WIB. Ketika jam belajar tersebut, televisi yang ada di rumah
dimatikan, agar anak-anak bisa fokus belajar. Akan lebih bagus, jika orang tua
ikut mendampingi anaknya dalam belajar. Konsep jam belajar seperti ini,
sebenarnya sudah ada sebuah perkampungan kecil di Yogyakarta yang menerapakan.
Yakni tepatnya di RT 36 RW 09 Taman Patehan, Kraton, Yogyakarta. Hanya saja, di
kampung tersebut lama penerapan jam belajarnya yang berbeda. Tak ada salahnya
konsep seperti ini juga dijalankan di Rembang, dengan konsekwensi menghilangkan
“kebahagiaan” ibu-ibu menonton sinetron.
Sebab, pada jam-jam tersebut, muncul tayangan-tayangan sinetron yang disebut
“sangat keren”, hingga membuat mereka kecanduan menonton.
Menumbuhkan budaya literasi,
bukan pula sekadar memperbanyak jumlah perpustakaan di setiap desa. Meskipun ada,
namun, jika kondisi perekonomian masyarakat masih terbatas, akan cukup sulit
untuk menggerakkan warga untuk mencintai literasi. Bagaimana mau membaca, jika
secara ekonomi mereka masih kesulitan. Artinya, butuh sebuah sentuhan dalam
menggerakkan ekonomi masyarakat melaui pelatihan dan pembinaan ekonomi kreatif,
sehingga secara bertahap perekonomian masyarakat bisa meningkat. Jika kebutuhan
primer dapat tercukupi, maka masyarakat akan lebih rileks untuk memenuhi
kebutuhan skunder lainnya, yakni pendidikan yang didapatkan dari membaca buku
dan menulis.
Bagaimanapun, aktifitas literasi
merupakan salah satu aktifitas penting dalam hidup. Sebagian besar proses
pendidikan bergantung pada kemampuan dan kesadaran literasi. Budaya literasi
yang tertanam dalam diri generasi muda memengaruhi tingkat keberhasilan baik di
jenjang pendidikan maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Kita berharap, Pemda
Rembang bisa membuat sebuah gebrakan, agar budaya literasi di wilayah ini terus
membumi.
Belum ada tanggapan untuk "Urun Rembug Soal Upaya Menumbuhkan Budaya Literasi "
Posting Komentar