Khutbah Jumat yang Sunyi

Sudah belasan kali aku salat Jumat di masjid ini, masjid yang terdekat dengan tempat kos. Sudah beberapa kali pula aku menjumpai khotib yang sama, untuk menyampaikan nasehatnya di hadapan jemaah.

Namun, kali ini seperti yang sudah kuduga sebelumnya. Setelah beberapa menit khutbah berlangsung, ketika itu pula suasana di dalam masjid tampak lebih sunyi. Dalam konteks Khutbah Jumat, nampaknya perlu dibedakan secara tegas antara sunyi dan khidmat. 

Posisiku yang berada di shaf tengah, kumanfaatkan sejenak untuk melirik kiri dan kanan. Tak sedikit kulihat dari jemaah yang menundukkan kepala. Mereka seolah berupaya memahami nasehat dari khotib dengan sekuat tenaga dan sekuat akal sehat, meskipun pada akhirnya mereka harus menyerah dari serangan rasa kantuk yang ternyata secara perlahan justru lebih ampuh memporak-porandakan pertahanan jemaah.



Nah, di sinilah perlunya ada pembeda antara definisi khidmat dan sunyi dalam konteks Khutbah Jumat. Versi selengekanku, khidmat ketika khutbah berlangsung, itu manakala jemaah mendengarkan apa yang disampaikan khotib secara serius karena ada ketertarikan, dan suasana biasanya akan berlangsung hening dan kepala jemaah tetap tegak. Berbeda dengan sunyi. Di sini, kalian menemukan suasana, di mana jemaah yang nampak sekuat tenaga memahami apa yang disampaikan khotib dengan nalar yang setengah dibuai kantuk. Ditambah, khotib dengan segala kuasanya tak menghiraukan apakah materi yang disampaikannya tersebut terasa berat bagi jemaah atau tidak. Bahkan ada kalanya, jemaah yang sengaja bersandar atau justru meletakkan jidatnya di lantai, karena hanya putus asa untuk mempertahankan kelopak matanya untuk tak mengatup rapat. Ada pula jemaah yang masih setengah sadar dan mata mereka akan terbuka secara malas, ketika khotib sudah membaca doa di akhir khutbahnya.

Dalam hal ini, izinkan aku berkesimpulan, jika tugas seorang khotib itu cukup berat. Tak hanya sekadar bisa membuat materi, namun bisa menyampaikan materi tersebut dengan semangat berjihad untuk melawan kantuk agar tak menyerang secara gegabah kepada jemaah yang dihadapinya.

Dengan demikian, sebenarnya ada faktor penting yang kudu dimengerti seorang khotib ketika menyampaikan khutbahnya. Hal ini tentunya di luar konteks, apakah khotib dinilai sebagai tokoh agama atau memang dianggap pantas sebagai seorang yang pantas menjadi khotib.

Item pertama, menurut versiku sebagai seorang pendengar khutbah, yang perlu diperhatikan khotib ketika menyampaikan khutbahnya adalah intonasi suara. Tak jarang, jemaah terlihat harus pasrah untuk membiarkan terbuai kantuk daripada mendengarkan materi khutbah. Alasannya klasik, seorang khotib menyampaikan materi seperti orang membaca buku, bukan sebagai seorang penceramah. 

Kemudian, ada kalanya materi yang disampaikan khotib menggunakan bahasa formil yang terlalu berat bagi analisa jemaah. Sehingga, bukannya menikmati nasehat yang disampaikan khotib tetapi justru tumbang dengan nalar masing-masing.

Selanjutnya, ada pula khotib dalam menyampaikan materi dengan suara yang terlalu pelan, yang nyaris jemaah yang berada di shaf bagian belakang tak mendengar apa yang disampaikan. Bahkan, aku pernah menjumpai bagaimana seorang khotib yang cara menyampaikan materi dengan suara kurang begitu jelas. Meski membaca teks, namun, suara itu lho…, ah kami tak mengerti sama sekali. Yang terdengar jelas cuma di bagian “Jemaah salat Jumat yang dimuliakan Allah”. Selain itu suaranya ibarat kaset tape recorder yang kusut, sama sekali tak jelas  apa isinya. Ah…nasib kami sebagai jemaah, yang harus lebih keras untuk berani menampar rasa kantuk, karena rasanya lebih berat kali ini. 

Dalam hal ini, reputasi khotib yang satu ini ternyata menjadi perbincangan di kalangan jemaah, yang ternyata merasakan hal yang sama. Beberapa yang masuk dalam kepengurusan masjid berbisik-bisik, jika mereka merasa kurang nyaman jika sang khotib ini nantinya tetap memberikan khutbahnya. Apalagi, yang mengikuti salat Jumat bukan berasal dari warga kampung setempat saja, tetapi, banyak dari karyawan perusahaan besar yang ada di kawasan masjid. “Sudah aku usulkan untuk diganti” itu yang aku dengar dari salah satu pengurus, ketika berbincang dengan salah satu temannya.

Di masjid dekat kos ini pula, aku beberapa kali juga menjumpai seorang khotib, yang menurut pandanganku memiliki kemampuan yang mumpuni. Tak hanya jelas ketika menyampaikan, namun, materi yang dibawakan juga sangat dipahami jemaah, dengan bahasanya yang cukup ringan. Jemaah juga tertarik dengan apa yang disampaikan khotib. Hal ini jelas, aku “memvonis” indikasinya adalah kepala jemaah yang tetap tegak, jarang yang terkulai ke bawah. Bahkan ketika aku sedang salat Jumat di masjid ini, aku selalu berharap khotib yang satu inilah yang didaulat untuk menyampaikan nasehat kepada jemaah.

Semoga banyak khotib-khotib yang bukan hanya sekadar menyampaikan teks yang dibacanya di dalam buku atau kertas yang diselipkan di kantong bajunya.















Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Khutbah Jumat yang Sunyi"

Posting Komentar