Ayam yang Berebut Tanduk dengan Kambing


“Kopi Pak De,kopi  agak kental, jangan terlalu manis,” kataku, sebelum bokongku mendarat sempurna di bangku panjang yang ada di warung Pak De Bustomi. Aku memang agak rewel sedikit ketika sudah menyangkut soal rasa kopi. Karena rasa dalam menikmati kopi menurutku bisa diibaratkan menikmati musik. Harus ada perpaduan yang pas antara irama dan lagunya,  begitupun dengan penyanyinya. Pun demikian ketika menikmati kopi, harus ada perpaduan yang pas antara gula, kopi dan air.Jika hanya asal-asalan, maka hasilnyapun hambar. Meski setiap orang punya takaran sendiri dalam menikmati kopi, aku pun tetap teguh dengan pendirianku, agak kental dan agak pahit,huppss… sruput….


Sebenarnya, tanpa dijelaskan juga, Pak De Bus sudah tahu seleraku untuk yang satu ini. “Ki Lho…, piye pas atau belum,” ucapnya sambil menyodorkan segelas kopi yang masih panas. 

“Kan belum aku minum Pak De, mana tahu pas atau tidak,” gumamku. “O iya, aku kira mulutmu sudah berubah jadi termos, anti panas,” ceplosnya. “Rumangsamu,” balasku.

Kalau sudah ada segelas kopi begini, biasanya alur cerita bisa sangat panjang tanpa arahan jelas dari sang sutradara, sehingga sangat-sangat mungkin dan rawan menyimpang dari tema. Apalagi, aku dan Pak De memiliki sebuah kesamaan. Sama-sama terjerumus dalam hal “Perakikan”. Koleksi akik kita, sama-sama tidak begitu banyak, hanya berkisar 30 jenis, baik yang sudah ada embannya dan yang berupa bahan. Harganya pun, belum ada yang sampai jutaan. Yo wes, seng penting punya, daripada hanya hanya kepingin saja. Maklum, kolektor kelas kampung.

Jika biasanya tak pernah lepas dari pembahasan batu akik, tapi malam itu kami agak malas untuk membahasnya. Lagian, trend batu akik kini sudah berada dalam posisi yang mengkhawatirkan, sama halnya rupiah yang terancam dengan keperkasaan  dollar.  Meskipun kami sudah masuk dalam lingkaran perakikan, namun, kami belum sampai tahap kecanduan, sehingga, menurunnya trend batu akik tak begitu berpengaruh bagi kami. 

“Pak De…! Pak De tahu nggak?,” tiba-tiba Om Hendro yang sedari tadi menikmati segelas es teh mengajukan pertanyaan yang cukup mengejutkan Pak De yang sedang sibuk menghitung uang recehan di laci. 

“Ono opo? Mengejutkan orang saja. Nah kan, sudah berapa ribu tadi duit yang aku hitung, lupa jadinya,” ocehnya. “Piye Ndro, tanya apa kamu tadi?,” ucapnya. “Begini Pak De, Bank Titil itu boleh nggak secara agama?,” tanyanya. 

Entahlah, apa yang ada di pikiran Om Hendro, kok tiba-tiba tanya seperti itu, apakah dia ada minat untuk mengambil hutang melalui Bank Titil untuk modal beli burung, karena sudah ada 10 kali pelihara burung, tak pernah berakhir manis. Selalu tragis, kalau tidak lepas ya mati. Semoga saja bukan karena itu, he..he…

Mendapat pertanyaan seperti itu, Pak De kemudian membenarkan posisi duduknya dan songkoknya yang posisinya agak miring ke kanan. Tak lupa, kedua tangannya juga sedikit naik di atas dada. Bukan karena apa, ini hanyalah trik agar delapan akik yang menempel di jari tangan kanan dan kirinya bisa kelihatan. 

“Begini lho Ndro.., hutang piutang dengan sistem seperti itu, yang ada bunganya, itu jelas tidak dibolehkan,” ujar Pak De mantap.

“Kok Bisa, kan itu namanya kerja, cari untung,” kata Om Hendro, yang tak puas sama sekali dengan jawaban Pak De.

Wes, pokoke begitu. Nggak usah jauh-jauh jawabannya. Nggak ngerti kowe, kalau sampai tak keluarkan dalil-dalilnya. Yang penting, kalau bisa nggak usah, jika ada minat ngambil hutang dengan sistem Bank Titil itu,” ucapnya mengakhiri agar tak ada pertanyaan lanjutan dari Om Hendro.

“Emangnya Pak De tahu ya?,” tanyaku pelan, karena penasaran akan jawaban diplomatis Pak De yang seperti itu. 

“Kayaknya dulu aku pernah dengar memang begitu le.., tapi ya nggak tahu kalau ditanya dalilnya atau landasan  yang melarang. Kalau tanya yang serius ya tanya ustadz atau siapalah yang kira-kira mumpuni. La, kira-kira pantes nggak jawab yang kayak gitu?,” Kata Pak De balik bertanya.

“Ya cocok lah. Jari tangan sudah penuh dengan akik, peci agak miring, sarung agak tinggi. Tapi.., bukan soal dalil-mendalil, cocoknya itu jadi pengamat perakikan yang semakin lesu. Dan yang penting nggak lupa dengan adonan kopiku,” ujarku.

Pak De Bus kemudian mengalihkan tema pembicaraan. Kali tentang hewan, tapi masih agak nyerempet agama. “Kamu tahu, kalau hewan itu semunya berdzikir kepada Tuhan?,” tanyanya. 

Entah dia bertanya seperti itu memang paham atau tidak, atau hanya sekadar ingin menunjukkan dia punya pengetahuan agama, yang orang lain belum tahu. Atau bahkan, biar dibilang tak kuper soal pengetahuan.

Tak sempat aku menjawab atau menyela pertanyaannya, tapi Pak De langsung menjawabnya sendiri. “Burung Trucuk itu, sebenarnya bunyinya “Lam Yalid Wa Lam Yulad” , dan banyak yang lain. Semuanya itu kalau dicermati ada lafalnya,” sebutnya.

Tak sampai di situ, kemudian Pak De juga menyebut jika antara Kambing dengan Ayam, itu tanduknya tertukar. “Yang punya tanduk itu sebenarnya bukan kambing, tapi ayam. Buktinya itu, dengarkan saja suaranya. Kalau ayam pas berkokok itu sebenarnya bunyinya begini, “Ndi Sunguku…?”. Kemudian sang kambing menjawab. “Sok mben…..”. Makanya, mereka sahut-sahutan kalau bunyi,” katanya, sambil cengengesan.

“Trus ini, burung yang cepat ngajak kaya majikannya itu, adalah burung perkutut. “Kelar tuku truk”. Trus…,” suaranya terhenti, karena segera aku potong.

Wes-wes. Kopi segelas, bakwan lima, cabe 20, tusuk gigi dua, akik mani gajah dari laci kecil tiga.Piro….?,”  

“Ho…gueblek. Kembalikan akiknya,” seru Pak De.

He…,Kabur………Aku koncomu Pak De!

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk " Ayam yang Berebut Tanduk dengan Kambing "

Posting Komentar