Sore itu, aku duduk termenung sendirian.
Satu per satu, mereka datang kepadaku. Namun tak dinyana, tiba-tiba mereka
menyerangku dengan tanpa ampun. Satu orang, dengan postur tubuh yang tinggi besar dengan pasti mengangkat
senjata yang sudah disiapkan dibalik bajunya. Revolver, dengan peluru besi
kuning yang siap dilesakkan ke arahku. Dia tahu, jika hanya menggunakan peluru
biasa, tak bakal mempan untuk menembus tubuhku. Maka, sejak jauh hari dia sudah
menyiapkan peluru besi kuning, untuk merobohkan pertahananku. Peluru ini
merupakan senjata pamungkas baginya.
Tak memberikan aku untuk menghindar atau
sekadar melakukan pembelaan diri, tangannya yang perkasa dengan revolver di
ujung genggaman jarinya, tiba-tiba sudah mengacung di depan mukaku. Bahkan,
pria ini juga tak memberikan kepadaku hanya untuk sekadar mengungkapkan
ekspresi mukaku dari sikap keterkejutanku. Tak ada aba-aba, pelatuk revolver
dengan kerasnya tanpa nada ditekannya begitu saja, dan door……!
image:kapanlagi.com |
Aku terhuyung-huyung ke belakang. Tak ada
apapun yang bisa untukku pegang, sehingga membuatku terjengkang. Peluru itu
begitu dahsyat, tepat mengenai keningku dan menyisakan satu lubang. “Ah..dia
tahu kelemahanku,”pikirku. Tapi aku tetap mencoba bangkit dengan sisa tenagaku,
agar aku nampak tidak digdaya.
Belum sempat aku berdiri dengan sempurna, dengan
mata berkunang-kunang, kulihat sosok perempuan kecil mungil, dengan tatapan
mata yang tajam ternyat sudah bersiap mengangkat busur panah yang anak panahnya
mengarah tepat di jantungku.
“Apa lagi ini, kenapa mereka mengincarku?
Tak tahukah jika pertahananku sudah rapuh, sehingga hampir membuatku putus asa.
Aku pasrah,”gumamku.
Jari lentik perempuan itu secara halus
menarik anak panah. Jleb…, anak panah yang runcing dengan balutan kertas jimat itu
tepat mengenai jantungku. Dan, tak perlu lama, akupun terpental. Sambil
memegang ujung anak panah yang tertancap, akupun terkulai.Tapi, akupun masih
mencoba bangkit.
Baru setengah berdiri, tiba-tiba sudah
datang dari arah belakang seserang perempuan tua yang begitu wibawa. Dia hanya
melihatku ketika aku sedang diserang bertubi-tubi. Tatapan matanya yang dalam
mengisyaratkan dia kasihan melihat kondisiku, tapi dia terpaku dengan posisi
berdirinya yang kokoh.
Cukup lama dia berdiri, dan hanya
memandangku. Tak dapat ditebak apa yang ingin dia lakukan. Perlahan dia
mendekat, dan sangat dengan dekat. Dibisikkan sesuatu di telingaku, dan boom……,
aku terkapar seketika.
Tak perlu senjata, tak perlu peluru tajam,
dia hanya perlu mantra pendek untuk menghancurkan pertahananku. Dia punya
senjata pamungkas yang paling ampuh untuk membombardir keperkasaanku. Dia tahu
kelemahanku agar aku tak berkutik melakukan pembelaan diri. Mantra itu begitu
dahsyat. Harus aku akui, mantra yang begitu pendek mampu meluluhlantahkan
segalanya. Dia hanya pelan mengucapkan mantra itu. “Kapan kowe nikah?”.
Belum ada tanggapan untuk "Boom! Mereka Menyerangku dengan Senjata Pamungkas"
Posting Komentar