Ketika Pedagang Es Tebu dan Kursi Rotan jadi Hiburan Kami

Merapat ke jendela untuk menatap para pedagang yang berada di bawah dan depan kantor 

Bersahabat dengan monitor setiap hari dan berkutat dengan tulisan-tulisan terkadang membuat kami harus pandai-pandai untuk menghibur diri. Ditambah lagi suasana ruangan redaksi yang kini tak lagi seramai kala itu, tak lagi menghadirkan joke-joke nyeleneh yang setiap saat muncul dari manusia-manusia kreatif, yang tanpa diduga dan tanpa dinyana.

Menyikapi kebosanan dan kejenuhan setelah beberapa jam bercengkerama dengan keyboard, sejenak kami luangkan waktu untuk merehatkan syaraf-syaraf di kepala dan otot jari. Ini penting, agar otak juga istirahat sejenak,agar mampu melahirkan inspirasi-inspirasi mengolah kata, sehingga tulisan yang kami sajikan tak hanya sekadar tulisan. Tapi tulisan yang mampu dinikmati pembaca, menyatu dengan emosi pembaca dan melahirkan feed back yang luar biasa dari pembaca.

Dalam beberapa hari terakhir, khususnya di bulan Ramadan ini, kami seolah mendapat hiburan baru.Hiburan yang tak butuh biaya mahal, hiburan yang tak butuh lokasi jauh dari tempat kami beraktivitas, karena hiburan itu ada di dekat kami, ada di depan mata kami. Yah..ini hiburan  baru kami yang nyeleneh, hiburan yang tak lazim untuk orang kebanyakan.

Untuk menghibur diri, biasanya dari lantai dua tempat kami beraktivitas, cukuplah badan kami merangsek ke jendela jika kami merasa agak lelah. Cukuplah mata kami memandang ke depan dan ke bawah. Kau tahu, apa yang ada di hadapan kami? Tak lain dan tak bukan hanyalah seorang lelaki setengah baya penjual es tebu dan sepasang suami istri yang menjajakan kerajinan dari rotan.Bagi kalian, dan mungkin warga yang lalu lalang adalah hal biasa, tapi bagi kami, mereka adalah istimewa. Mereka ini mampu menjadi penawar lelah kami, penawar bosan kami ketika kening kami sudah berkerut.Kok bisa? Ya, bahagia kami sangat sederhana. Cukup memandang pedagang es tebu dan pedagang kerajinan rotan.

Inilah para pedagan yang telah memberikan hiburan bagi kami


Ceritanya begini. Jelang tengah hari, biasanya pada Ramadan ini, ada pedagang yang mangkal di depan kantor kami. Mereka adalah penjual es tebu dan kerajinan rotan, serta pada beberapa hari berikutnya nanti ada juga penjual buah melon.Sesekali, kami sengaja bangkit dari tempat duduk untuk sekadar memerhatikan aktivitas mereka berjualan, dan lama-kelamaan ini menjadi kebiasaan. Dalam sehari, bisa tiga sampai lima kali kami merapatkan badan ke jendela untuk memerhatikan apa yang dilakukan mereka.

Awalnya biasa saja. Namun, dalam beberapa hari berjalan, kebiasaan kami mengamati mereka seoalah menjadi hiburan tersendiri. Kami menemukan sebuah kebahagiaan dari sekadar menjadi tukang pengamat orang yang sedang mencari nafkah. Sederhana sekali bukan cara kami untuk bahagia?

Kebiasaan ini pun, menjadikan kami sebagai pengamat, analiser, dan komentator yang handal.Pengamat dan komentator bola yang ada di TV seperti yang kalian lihat biasanya, bisa kalah dengan kami. Pengamat politik yang sering cuap-cuap pun tak ada apa-apanya dengan analisis kami yang jitu tentang langkah dan strategi menyikapi kondisi objek kami.

Perkembangan hari ke hari para pencari nafkah ini, kami juga tahu. Bagaimana mereka-mereka ini menyikapi kondisi yang terjadi setiap harinya, kami juga bisa tahu. Contoh kecil saja, ketika mereka lagi asyik menjajakan dagangannya, namun, tiba-tiba hujan turun. Sang pedagang kerajinan rotan yang awal-awalnya, terlihat sangat kewalahan ketika ada hujan turun, dan pontang-panting menyelamatkan dagangannya agar tidak kehujanan, pada akhirnya bisa belajar dari pengalaman pertama dan seterusnya. Sehingga, ketika ada hujan turun, dia tak lagi sesibuk dulu untuk menyelamatkan dagangan agar tidak basah.

Bahkan, ketika tahu hujan turun, kamipun serentak bangkit dari tempat duduk untuk secepat kilat merapatkan badan ke jendela. Mata kami dari lantai dua pun langsung tertuju ke bawah. Tak lepas tatapan mata tertuju ke semua gerak-gerik mereka. Bagaimana cara mereka mengamankan dagangan, bagaimana menyelamatkan diri agar tidak kehujanan dan bagaimana sisa barang yang tak semuanya tertutup terpal, sehingga air pun tak sungkan untuk membasahi barang yang nahas itu.

Di sinilah, kami biasanya menjelma sebagai komentator dadakan yang asal suka mengomentari bagaimana tingkah polah mereka, mengomentari bagaimana seharusnya mereka menyikapi situasi yang terjadi dan sampai bagaimana manajemen dan taktik mereka berjualan supaya konsumen lebih ramai. Seolah tak ada sesuatu yang lepas dari pengamatan kami, meskipun hal itu sangat kecil. Secara detail kami amati mereka. Bahkan ketika Sang Penjual Es Tebu yang hanya cukup keluarkan mantel dan helm ketika ada hujan turun, yang kemudian kembali duduk manis menghadapi gerobak, itupun tak kami lepaskan dari pandangan kami. Ah entahlah, hal yang mungkin sangat sepele dan tak lazim, tapi inilah cara kami untuk bahagia di tengah aktivitas di dalam ruangan.

Oh ya, aku lupa jika masih ada satu lagi pedagang takjil yang posisi berjualannya berada di antara penjual es tebu dengan pedagang kerajinan rotan. Awal-awal menjajakan dagangannya, kami terkadang cukup merasa prihatin, karena sangat sedikit yang menghampiri dagangannya itu. Padahal, es tebu yang berada di sampingnya sangat laris manis. Hal inipun menjadi bahan cuap-cuap kami. Berbagai argumen muncul mengenai ini, hingga pada akhirnya seseorang dari kami ada yang sempat mengambil foto secara candit, sambil berseloroh, "Bahagia kalian sederhana sekali ya".







Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Ketika Pedagang Es Tebu dan Kursi Rotan jadi Hiburan Kami"

Posting Komentar